Sepintas, di
dalam pertanyaan tersebut sudah tersirat jawabannya. Kenyataan yang ada di lapanganlah yang membuat
jawaban tersirat dalam pertanyaan tersebut menjadi tersurat. Ya, sebagian besar
TK dan SD yang ada tampaknya hingga saat
ini masih menyelenggarakannya dan merupakan bagian tradisi yang sangat panjang
sejak puluhan tahun lalu. Namun, marilah kita coba telisik lebih jauh apa
sebenarnya latar belakang para penyelenggara peringatan hari kartini sehingga menjadikan
tradisi tersebut sesuatu yang urgen sehingga hampir tidak pernah ditinggalkan tiap tahunnya. Di sisi lain kita
coba sisakan ruang untuk mengintip alasan mereka yang menganggapnya sama sekali tidak
penting atau paling tidak, tidak begitu penting sehingga mereka tidak
menyelenggarakannya.
Untuk membahas
hal ini, tampaknya kita harus melakukan segmentasi bagi para penyelenggara
menjadi dua segmen, yaitu sekolah umum
dan sekolah islam.
Sekolah Umum. Bagi segmen
ini, penyelanggaraan peringatan hari kartini seolah merupakan bagian dari
“jiwa” mereka sehingga apabila tidak diselenggarakan, seolah ada sesuatu yang
terciderai dalam “jiwa” mereka. Anak - anak
mendapat hiburan dengan adanya berbagai tampilan busana adat dan aneka lomba. Ini merupakan hiburan yang lain
dari yang lain dibandingkan kegiatan harian mereka. Memang, ada juga unsur pendidikannya yaitu dengan memperkenalkan sejarah RA Kartini sebagai pahlawan
nasional yang merupakan sosok yang harus diteladani. Dan memang itu sudah sesuai
dengan posisi dan misi mereka sebagai sekolah umum yang tentunya memiliki ciri
yang tidak sama dengan sekolah islam. Kita patut menghargai hal itu.
Sekolah Islam.Sebenarnya
segmen inipun masih perlu penajaman menjadi dua yaitu Sekolah Islam yang dalam
kesehariannya tidak mewajibkan busana muslimah dan Sekolah Islam yang
kesehariannya mewajibkan busana muslimah. Bagi Sekolah Islam yang dalam
kesehariannya tidak mewajibkan busana muslimah penyelenggaraan peringatan hari kartini
biasanya hampir sama dengan Sekolah umum dimana anak-anak diperkenalkan sosok RA.Kartini sebagai sosok pahlawan yang patut diteladani disertai dengan peragaan busana
tradisional dan aneka lomba .
Nah, pada segman
Sekolah Islam yang dalam keseharian mewajibkan busana muslim inilah ada banyak
hal yang menarik untuk dicermati dan dikritisi.
Ada yang
berpendapat bahwa peringatan hari kartini tidak merupakan hal yang urgen untuk
dilakukan. Mereka lebih menekankan pada peringatan peringatan yang langsung
terkait dengan sejarah islam seperti peringatan Maulud Nabi, Isra Mi'raj dan
lain-lain. Apalagi sosok RA Kartini sendiri merupakan sosok wanita yang tidak
menggunakan jilbab dimana hal ini tidak sesuai dengan misi mereka yang melatih
anak didik untuk mengenakan busana muslimah sejak dini. Mereka melihat pada
peringatan hari kartini lebih
menonjolkan aspek “nasionalis” dan tidak terkait aspek religi yang menjadi
spirit dalam penyelenggaraan pindidikan mereka.
Disisi lain, sebagian dari kelompok Sekolah islam yang muridnya berbusana muslimah dalam keseharian ini, menyelenggarakan
peringatan hari kartini namun dalam spirit dan misi yang tidak jelas.
Hal ini terlihat dalam penyelenggaraannya, dimana hampir tidak ada perbedaan
sama sekali dengan segmen yang pertama di atas yaitu segmen Sekolah Umum. Keseharian bebusana muslimah yang telah
biasa diterapkan kepada anak didik, justru “dicampakkan” pada peringatan
tersebut.Alasan klise yang dilontarkan adalah bahwa mereka khawatir kalau
terlalu saklek akan berdampak kurang baik, seperti anggapan terlalu ekstrim, terlalu
kaku, dan tidak sesuai dengan kelaziman yang ada di kebanyakan sekolah. Dan
ujungnya kehawatiran jika nantinya Sekolah nya akan ditinggalkan oleh ibu ibu.
Apalagi sosok RA Kartini sendiri merupakan sosok perempuan dengan busana khas jawa
yang berkebaya dan berkonde,maka dalam pelaksanaan perayaannya pun kurang lebih
harus mendekati sosok tersebut….dan seterusnya.
Kami, selaku
pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan anak, sekaligus sebagai aktivis
dakwah berusaha memberikan pandangan sekaligus kritik yang membangun kepada dua
sisi pandangan tersebut apalagi mengingat para penyelenggara Sekolah Islam yang
keseharian muridnya mengenakan busana muslimah adalah mayoritas para muslimah aktivis
dakwah.
Kita harus
mengingat kembali dan berusaha mengaplikasikannya paling tidak dua hal prinsip mengenai
jati diri para aktivis dakwah. Yang pertama, Nahnu duat qobla kulli syai .
Kita ini adalah para dai dan daiyah, sebelum
segala sesuatu. Dalam status apapun, dalam kondisi apapun peran inilah yang
harus selalu melekat dalam jiwa kita. Jangan sampai ada aktivitas yang tidak ada muatan dakwah di dalamnya. Yang
kedua, kita adalah Anashirut
Taghyir, Agent of Change, bukan Agent of Nothing. Agen Perubahan, bukan
Agen Kepasrahan. Dalam benak kita harus senantiasa melekat, perubahan apa yang
dapat kita lakukan untuk menuju yang lebih baik,dalam hal apapun. Jangan cepat
menyerah dengan kenyataan yang ada, dengan kelaziman yang ada selama masih
mungkin untuk diperbaiki.
Kalau kita
menyadari dua jati diri tersebut kemudian memahami bahwa hakekat pendidikan anak
adalah bagaimana menciptakan kondisi
yang kondusif bagi terselenggaranya pendidikan dengan melibatkan orang tua dan
menjadikan keterkaitan serta keserasian hubungan orang tua-guru-dan murid
menjadi faktor kunci bagi keberhasilan pendidikan, maka pada peringatan hari
kartinipun akan dapat kita kreasikan dan kita arahkan menjadi suatu rangkaian
acara peringatan yang bermanfaat, yang mengandung muatan pendidikan sekaligus
mengandung muatan dakwah bukan hanya bagi anak anak tapi juga bagi orang tua
mereka.
Kenapa kita harus
mengikuti kelaziman bahwa peringatan hari kartini identik dengan pemakaian
kebayaan-sich dan dengan nothing to lose kita anggap biasa untuk sementara
melepas jilbab mereka meski hanya untuk sehari. Ditambah dengan berbagai
aksesori yang, maaf, mungkin terlalu berlebihan bi seorang anak, tanpa ada
penjelasan yang jelas kepada orang tua murid. Bisa jadi ada satu dua diantara
mereka yang terheran heran, “lho,kok bu guru khusus untuk hari kartini
mengijinkan anakku melepas jilbab,ya ??”.
“Lho kok, aku diijinkan mendandani anakku berlebihan seperti ini, ya??” “Bukankah ibu guru mencontohkan dalam keseharian mereka tidak biasa berdandan berlebihan (red:menor)??” Pertanyaan
ini akan muncul dan selalu muncul paling tidak setahun sekali. Pertanyaan yang
selalu tetap menjadi pertanyaan karena sang guru gagal memberikan jawaban yang
tuntas dan memuaskan. Pertanyaan yang akan selalu menjadi pertanyaan karena
sang guru, yang sekaligus sebagai aktivis dakwah gagal atau belum berhasil
memerankan diri mereka sebagai Agent of Change yang mencerdaskan masyarakat dan
memberi pencerahan.
Sebenarnya
masalahnya tidak terlalu rumit. Pemahaman yang benar akan hakekat dakwah,
keluasan wawasan akan pengetahuan keislaman dan kesadaran yang mendalam akan
fungsi diri mereka sebagai Anashirut Taghyir akan menjadi kunci keberhasilan
dalam menjadikan peringatan hari kartini bukan sekedar peringatan seremonial
tanpa makna. Event ini bahkan bisa menjadi event yang sarat makna bahkan sarat muatan
dakwah.
Dengan
konsistensi kita memegang jati diri sebagai daiyah akan memudahkan langkah kita
untuk menentukan kebijakan tanpa ada pertanyaan atau penolakan yang berarti
dari orang tua murid. Tanpa penjelasan panjang lebar pun, mereka akan percaya pada
setiap program yang kita gulirkan karena mereka yakin setiap program yang kita
gulirkan akan memberikan manfaat bagi anak mereka. Apalagi disertai dengan
penjelasan penjelasan yang lebih mencerahkan dan mencerdaskan. Justru di
sinilah fungsi anashirut taghyir akan
berjalan.
Tidak ada
masalah dengan berbagai ragam baju adat yang ada termasuk kebaya yang merupakan
primadona pada setiap peringatan hari kartini. Namun pemakaian jilbab yang merupakan identitas khas keseharian bagi
Sekolah Islam juga sebaiknya jangan ditinggalkan. Justru kalau mau jujur dan obyektif,pemakaian
busana adat disertai pemakaian jilbab akan tampak lebih cantik dan anggun dibandingkan
pemakaian busana adat yang dikombinasikan dengan berbagai aksesoris yang berlebihan. Orang tua murid
akan dengan senang hati menjalankannya tanpa ada pertanyaan yang mengganjal,
tanpa ada penolakan, bahkan bisa juga menumbuhkan keharuan dan kebanggan dalam
hati mereka……."Subhanallah,betapa anggun dan cantiknya anakku. Betapa bahagianya aku bila mengalami masa
kecilku sebagaimana yang dialami oleh anakku.” Semua itu hanya bisa terealisir
jika kita menggenggam prinsip Nahnu Duat Qobla Kulli Syai. Dan kita jalankan
fungsi Anashirut Taghyir, Agen
Perubahan. Sebaliknya, ungkapan bahagia dan haru dari orang tua murid tadi
hanya akan menjadi mimpi belaka jika kita hanya berfungsi sebagai Agen Kepasrahan,…. bukan Agen perubahan.
Pendikotomian
peringatan hari besar agama islam dan hari besar nasional, termasuk hari
kartini dengan pemikiran bahwa muatan
nasionalisnya lebih dominan daripada islaminya hanya akan menyempitkan kiprah kita dalam syiar islam. Lupakah kita bahwa
seorang nasionalis bisa sekaligus seorang islamis. Lalu apakah seorang islamis tidak
mungkin menjadi nasionalis???
Bahkan proses
pencarian hidayah yang ditempuh RA Kartini yang kemudian pada puncak prosesnya lahir
kumpulan surat surat habis gelap
terbitlah terang merupakan proses pencarian jati diri yang paripurna, bukan
hanya aspek pencarian jati diri seorang perempuan saja, tapi juga peningkatan dan penyempurnaan aspek
spiritualnya.
Nah, kenyataan
seperti inilah yang apabila kita selipkan pada acara Hari Kartini kemudian kita
sampaikan kepada orang tua murid dengan ilustrasi sebuah ungkapan sederhana, “Bu, seandainya Ibu Kartini Allah takdirkan tidak wafat secepat dan semuda itu,
mungkin beliau juga akan menggunakan jilbab, bu. Beliau akan tampak lebih cantik
dan anggun secantik dan seanggun putri ibu."
Dan
Alhamdulillah, jika semua kondisi ideal atau paling tidak mendekati ideal yang
tergambar diatas, dimana hari kartini terselenggara tanpa harus menanggalkan
identitas islami dan dalam waktu bersamaan muatan dakwahpun sampai kepada orang
tua murid, apalagi acara dikemas dengan cukup menarik dan kreatif maka terjawablah
pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Ya, peringatan hari kartini… perlu
untuk diadakan .
Syahidah Peduli
0 comments:
Post a Comment