Friday 9 August 2013

Melihat Kesempatan dalam Keseharian (Usaha)

by: Mardiati
Ada hal yang mengusik pikiran saya, saat membaca berita tentang beberapa saudara kita, yang dulu berada dalam satu kafilah dakwah. Kini lebih memilih untuk mundur dari barisan dan membentuk kafilah dakwah sendiri.
Jujur, saya tidak bermaksud mendeskriditkan pilihan saudara-saudara kita tersebut. Juga tidak sedang dalam posisi menilai dan menghakimi pendirian mereka. Karena saya menyadari, bahwa Allah pun memberikan kebebasan pada tiap makhlukNya untuk menentukan pilihan tanpa paksaan. Sebagaimana termaktub di sebuah ayat dalam alma’tsurat yang rutin kita baca,bahwa tidak ada paksaan dalam agama.
Begitupun juga, tidak ada paksaan bagi mereka yang dulunya berjuang bersama bahu membahu dalam kafilah dakwah ini, untuk kemudian memilih keluar dari barisan.
Secara pribadi saya menghormati pilihan mereka, dan tetap berdoa untuk kebaikan kita semua. Karena bagaimanapun, tidak ada kata mantan dalam ukhuwah. Dan bukankah ikatan yang didasarkan pada agama lebih kental daripada hubungan sedarah.
Tapi, ijinkan saya menguraikan renungan saya secara pribadi terkait dengan hal tersebut. “Jika”, adalah kata yang saya gunakan disini.
 Sebagai orang awam, dan kader baru dalam kafilah dakwah ini, saya mencoba berandai. Tentu bolehkan berandai? Seperti kita mengandaikan diri pada posisi orang lain yang tertimpa kesusahan, agar hati kita bisa ikut merasakan kesedihan mereka, lalu menjadi empati.
Andaikata saya menjadi salah satu dari mereka. yang memilih keluar dari barisan ini karena sebuah atau beberapa alasan yang saya nilai cukup prinsipil.
Bisa jadi karena saya mulai  “sesak’ berada dalam barisan dakwah, yang terasa mulai melenceng dari tujuan awalnya. Atau mungkin saya mulai antipati dan tidak suka dengan perilaku beberapa qiyadah, yang saya rasa tidak lagi mencerminkan sikap dan tauladan layaknya seorang qiyadah.
Mungkin juga karena saya menilai afiliasi kafilah dakwah ini bukan lagi berorientasi pada kemaslahatan umat dan ukhrowi, tapi lebih cenderung pada kepentingan golongan (segelintir elit pimpinan) dan bersifat pragmatis, atau bahkan terkesan oportunis.
Apapun alasannya, intinya saya sudah kadung kecewa dengan kafilah dakwah ini dan merasa hopeless. Jadi keputusan saya, lebih baik keluar dari barisan dan memilih untuk berjuang dengan rekan yang memiliki perasaan dan penilaian sama, lalu coba merintis kafilah dakwah yang baru. Toh, saya tidak bermaksud menjadi sufi atau uzlah. Saya masih tetap ingin berjuang menegakkan Kalimatul Haq dimuka bumi ini. Hanya saja dengan berbeda kafilah dakwah, itu saja.
Setelah saya endapkan ide tersebut.  Terlintas dalam hati, Wah alasan-alasan itu bisa dibenarkan juga, dan cukup rasional .
Namun, belum lagi saya bernafas lega dengan temuan tersebut. Hati saya kembali terusik oleh sebuah lintasan pemikiran baru.
Oke, katakanlah sekarang saya berada dalam kafilah dakwah yang baru. Dimana ruh perjuangan yang menjadi jargon kafilah dakwah ini, adalah mencoba meng-inisiasi kembali  ke metode awal perjuangan, yakni tarbiyah- oriented. Bahwa cukuplah segala sesuatunya dengan tarbiyah. Mari tampikkan dulu segala bentuk tawaran dunia, yang ternyata sedikit “meyesatkan” langkah para pejuang dakwah. Juga menolak berpartisipasi dalam kekuasaan, politik, dan kroninya yang selama ini terasa belum bersinergis dengan perjuangan. Bahkan telah memicu disorientasi dalam perjuangan.
Tapi, kemudian muncul pertanyaan dalam benak saya. Apakah semua cukup dengan tarbiyah saja. Lalu bagaimana dengan impian besar yang saya miliki, sejak saya mulai memahami hakikat diri saya sebagai seorang muslim. Sebagai makhluk Allah dan sebagai umat Muhammad, ada kewajiban yang harus saya tunaikan sebelum maut keburu menjemput.  Apakah semua itu akan tercapai hanya dengan tarbiyah dan menutup “pintu” yang lainnya? Apakah saya bisa mewujudkan impian saya, kembali melihat umat ini berjaya seperti dijaman Rasulullah dan sahabat?
Betapa hati saya tersedu haru tiap kali terlintas bayangan, andai seluruh penduduk bumi sudah menundukan hatinya dalam naungan cahaya Ilahi. Sungguhlah, dunia ini akan menjadi tempat yang paling damai dan indah.
Apakah sang guru mampu menjawab, bila suatu ketika saya bertanya dalam forum tarbiyah pekanan yang menyejukan kalbu tersebut. Bagaimana cara kita mewujudkan cita-cita mulia itu agar dapat terwujud paling tidak bermula dinegeri yang kita cintai ini?Apakah cukup dengan hanya mengandalkan kesolihan diri, dan menanti takdir membuka pintu bagi kami untuk mengambil alih tampuk kekuasaan tirani? Apakah kita harus mengulang lagi semua tahapan perjuangan dari titik nol, berjalan mundur padahal kita sudah pernah melaluinya?
Apakah kita yang berada dalam kafilah dawah baru ini, harus menutup mata dan telinga, serta terus menahan diri dari kenyataan yang tersuguh dihadapan kita.
Padahal “pintu” takdir yang kita tunggu telah terbuka. Padahal masih ada sekelompok saudara kita yang masih gigih bertahan di garda depan. Terus memperjuangkan keyakinannya, meski untuk itu mereka harus berkorban mahal.
Mereka tak pernah surut semangat ditengah keterbatasan yang membekap. Mereka yang tak pernah kehilangan keyakinan walau badai fitnah menyerang. Mereka tak pernah berhenti tebarkan kebaikan walau tak pernah dipuji dan disorot.
Mereka yang lapang dada dengan segala bentuk cemoohan serta tudingan salah, walau mereka tidak melakukannya. Mereka yang tak pernah memandang nila setitik sebagai alat pengrusak bagi susu sebelanga. Mereka yang tetap istiqomah dalam kesabaran.
Kembali pada diri saya, apakah hati nurani saya akan tetap merasa damai dengan pilihan saya, sementara masih ada saudara- saudara saya yang terus berjuang dengan keringat dan airmata mereka, semata demi kejayaan umat, sama seperti impian saya. Lalu dimanakah adagium yang menyatakan umat islam itu ibarat satu tubuh.
Bila berkaca dari keikhlasan mereka, tidakkah saya terlalu egois dengan pilihan saya?
Bukankah sejak dahulu Baginda Rasul telah berwasiat, agar umat islam jangan terpecah belah. Bukankah Allah sudah mengingatkan umat muslim tentang kehebatan tipu daya setan dan musuh-musuh islam.
Ingatlah dengan perkataan bijak sayidina Ali Ra, bahwa keruh bersama jemaah itu masih jauh lebih baik, daripada uzlah. Bahwa kebaikan yang tak teroganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang teroganisir.
Bila musuh-musuh islam telah bersatu padu dan menggunakan segala cara untuk memisah-misahkan serta menghancurkan umat islam. Lalu mengapa kita malah memilih bercerai-berai.
Bila sudah terbuka peluang dan pilihan untuk mengubah keburukan dengan “tangan”, lalu mengapa kita lebih memilih mengubah dengan “mulut” atau “hati”.
Bukankah, Allah menyukai mukmin yang kuat. Lalu mengapa kita memilih lemah dan melemahkan barisan kaum mukmin.
Bukankah Allah lebih mencintai mukmin yang tetap bertahan dan berjuang ditengah kebathilan dan kekufuran. Dibandingkan mereka (mukmin) yang memilih lari dari arena, hanya karena khawatir kesolehan mereka akan tercedarai oleh perangai buruk orang-orang hedonis.
Belajarlah dari sejarah umat muslim tempo dulu. Belajar dari kejayaan dan juga keruntuhan mereka, para pendahulu umat ini. Semoga kita tidak terjebak pada egoisme dan kenaifan kita secara pribadi. Agar bangunan islam ini tak porak poranda karena ulah kita.
Semoga Allah senantiasa membimbing kita pada kesatuan langkah dan kesamaan tekad. Semoga Allah meneguhkan kita semua dalam kebenaran dan kebaikan. Dan mengenyahkan segala bentuk keragu-raguan yang menghambati perjuangan kita. Wallahu a’lam bishawab.
“Ya Tuhan kami, kurniakanlah kesabaran keatas diri kami. Dan tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir”
(Al-Baqarah: 250).

0 comments:

Post a Comment